itusudah.com
Dewan Pers dan para konstituen menegaskan penolakan mereka terhadap draft Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang sedang dibahas di DPR RI. Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu, menyatakan bahwa RUU ini berpotensi menghilangkan kebebasan pers dan menghambat produksi karya jurnalistik berkualitas.
“RUU Penyiaran ini dapat menyebabkan pers kita tidak merdeka dan independen, serta tidak menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas,” ujar Ninik dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (14/5/2024). Ninik khawatir jika RUU ini disahkan, produk pers akan menjadi buruk dan tidak profesional. Ia juga menyoroti pasal dalam RUU ini yang melarang liputan investigasi, bertentangan dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Ninik menambahkan bahwa RUU ini juga mengatur penyelesaian sengketa jurnalistik oleh lembaga yang tidak memiliki mandat untuk itu. Menurutnya, mandat penyelesaian sengketa jurnalistik seharusnya ada di Dewan Pers. “Peraturan perundang-undangan perlu harmonisasi agar tidak tumpang tindih,” tegasnya.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia juga menolak revisi UU Nomor 32 Tahun 2022 tentang Penyiaran yang sedang digodok di DPR RI. Pengurus Nasional AJI Indonesia, Bayu Wardhana, menilai banyak pasal dalam RUU ini bermasalah dan dapat menimbulkan masalah jika dipaksakan. AJI menyarankan agar revisi UU dilakukan oleh anggota DPR periode selanjutnya dengan pembahasan lebih mendalam.
Bayu menyoroti pasal 56 ayat 2 poin c yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, yang menurutnya membatasi kebebasan pers. Ia juga mengkritik pasal-pasal yang memungkinkan tumpang tindih kewenangan antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers dalam penyelesaian sengketa jurnalistik.
Bayu menegaskan bahwa pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers harus dihapus dari draf RUU ini dan menyarankan agar pengaturan karya jurnalistik di penyiaran merujuk pada UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. “Konsideran draf RUU Penyiaran tidak mencantumkan UU Pers sama sekali,” tambahnya.